Sunday, December 17, 2017

Perempuan itu

Ngga tau kata-kata apa yang bisa mewakili sosok perempuan satu ini. Beliau tidak pernah menamatkan jenjang pendidikan dasarnya. Ya, SD pun tidak selesai, artinya tidak ada selembar ijazah yang tertuliskan namanya.

Sejak kecil sudah tak berAyah-Ibu. Putus harapannya saat kerabat yang membawanya merantau, tak kunjung menyekolahkannya. Tenaganya diperas hingga ia tumbuh dewasa. Meski tanpa selembar ijazah, ia bisa dengan mudah memperoleh pekerjaan. Bermodal koneksi, keuletan serta semangat belajar, ia bisa mandiri.

Takdir mempertemukannya dengan sosok lelaki yang kini menjadi teman hidupnya. Mereka dikaruniai 3 putri dan 1 putra. Lagi-lagi kehidupan menguji batas dirinya. Ia buktikan kepada dunia, bahwa kakinya masih mantap berdiri. Tak goyah.

Perempuan paruh baya itu memiliki cita-cita mulia. Cita-cita yang tidak kalah tinggi dengan teman sebayanya yang bisa mencicipi dunia pendidikan hingga menengah atas. Ia bertekad, anak-anaknya harus mengenyam pendidikan tinggi. Atas kemurahan dan rahmat Tuhan, yang menjadikannya mampu untuk mewujudkan mimpinya. Tiga dari empat anaknya, sukses bergelar Sarjana.

Usianya kini memang sudah tidak lagi muda. Tapi semangat yang ia miliki masih membara, layaknya pejuang tahun empat lima. Pengalaman hidup mengajarkan ia untuk terus bergerak. Di usia senjanya ia masih aktif berkegiatan.

Perempuan itu memang tidak pernah merasakan nikmatnya bekerja di balik meja dengan pendingin ruangan. Tapi semangat bisa membawa dirinya dikenal banyak orang. Mulai dari pejabat tingkat kelurahan hingga sebagian orang di kantor walikota.

Bukan. Perempuan itu bukan karyawan apalagi PNS. Ingat kan, ijazah SD saja tidak ada. Ia tekun dalam PKK, Ia aktif sebagai kader Posyandu dan itu yang membuatnya mengenal beberapa pejabat daerah lebih banyak dari sebagian besar orang lain di lingkungannya.

Anak bungsunya sudah cukup besar untuk mengurus dirinya sendiri. Kini ia bebas untuk menikmati waktu menyenangkan diri. Usia senja tidak menghentikannya untuk berkarya. Selembar ijazah tidak menyurutkan semangatnya untuk terus beradaptasi.

Hari ini, 17 Desember 2017, perempuan itu belajar mengenal Instagram. Sepuluh tahun yang lalu, beliau bahkan menolak untuk dibelikan ponsel dan beranggapan tidak membutuhkannya.

Malu. Aku malu, jika menyerah karena gelombang kecil yang menerpaku, dibandingkan dengan badai yang pernah dihadapinya.

Malu. Aku malu, jika ijazah sarjanaku tidak mampu membawa keberhasilan yang lebih cemerlang dari yang diperolehnya.

Malu. Aku maku, jika aku lemah dengan kedua orang tua ada bersamaku, mengingat ia yatim-piatu sejak sangat belia.

Aku memanggil perempuan itu, Mama.

Satu-satunya orang yang kunantikan saat ingin melahirkan cucunya ke dunia.

Satu-satunya orang yang menjadi idolaku di dunia nyata.

Mama, tidak pernah memberikanku kemudahan dalam memperoleh sesuatu. Aku sempat membencinya, karena ia pernah menyuruhku berjualan sebelum sekolah, di mana teman sebayaku bermain. Tapi tak berlangsung lama. Berikutnya teman-temanku yang iri karena aku bisa ke tempat wisata setiap minggunya. Sekarang, aku justru berterima kasih atas apa yang diperintahkan dulu. Mungkin sedikit pengalaman 'menyebalkan' yang sementara di masa kecil itu, yang membuatku bisa bertahan saat ini.

Tidak butuh hari ibu untuk menunjukkan rasa cinta kasih dan kebanggaanku padanya.

Melihat ia tertawa lepas, menjadikan hatiku tentram.

Semoga Allah memberikan kebahagian sejati padamu, Ma.

No comments:

Post a Comment