Memoar tentang Ayah
Oleh : Sani Hasanah
Ada sebuah cerita yang mengatakan, bahwa orang tua adalah salah satu pintu surga. Siapa yang mendapati keduanya masih hidup dan berbakti kepada mereka , sama dengan memiliki dua peluang untuk masuk melaluinya.
Tak banyak ingatan terpatri tentang lelaki yang namanya tersemat di belakang namaku. Sosok itu tidak tersentuh sepanjang kenangan. Bukan karena terpisah raga, tetapi tidak menyatunya emosi. Masa kecil yang didominasi rasa iri kepada adik serta sepupu laki-lakiku.
Kebahagiaan kental tergambar begitu mengetahui anak ketiganya yang lahir berjenis kelamin laki-laki. Papa memang mendambakan anak lelaki. Dua sebelumnya, aku dan adikku, adalah perempuan. Perhatian dan rasa sayangnya, terasa amat berbeda. Papa lebih condong memanjakannya. Karena beliau merasa penerusnya telah lahir. Itu kecemburuanku yang pertama. Tapi aku dan adik perempuanku berusaha memakluminya.
Namun ada momen yang benar-benar tak terlupakan di masa remajaku. Sayangnya bukan kenangan bahagia. Hari Raya adalah saat-saat yang amat dinantikan bagi anak-anak sepertiku. Di mana satu hari dalam setahun, kami bisa mendapatkan uang saku yang jumlahnya berkali-kali lipat. Di situlah kecemburuanku yang lain mengemuka. Papa masih memberikan angpao Lebaran kepada semua keponakannya, terutama kakak sepupuku. Meskipun dia sudah memiliki penghasilan sendiri, Papa tetap mencantumkan namanya dalam daftar penerima. Dia adalah kemenakan lelaki pertama Papa. Sayangnya, Om dan Tanteku yang notabene orangtua dari keponakan kesayangan Papa, tidak melakukan hal yang sama kepadaku dan adik-adikku.
Kenangan terbaik yang kumiliki tentangnya adalah ketika beliau mengizinkan aku untuk mengikuti sebuah kegiatan, itu berarti akan ada uang saku tambahan. Juga setiap akhir pekan sepulang kerja, Papa selalu membeli sekotak martabak manis dengan isi yang selalu sama, coklat-kacang-wijen. Jika tidak membawanya, maka es krim menjadi penggantinya. Liburan ke tempat wisata menjadi jadwal tetap setiap bulannya. Rasanya, Papa tak menganggap putrinya yang menginjak remaja sudah besar. Beliau masih menggandeng tanganku saat menyebrang.
Kenangan masa kanak-kanak dan remajaku, sedikit-banyak mempengaruhi karakter, pola berpikir serta sudut pandangku tentang perbedaan gender. Serta hentakan tanya tentang, apakah anak laki-laki lebih baik dari perempuan? Karena hal itu, aku terus berupaya untuk membuktikan, bahwa anak perempuan itu bisa setara dengan lelaki, bahkan aku bertekad untuk menjadi yang terbaik di antara semua saudara lelakiku. Beruntung aku memiliki satu pintu Syurga yang mendukungku. Di samping pada dasarnya Mama memang keberatan dengan sikap Papa.
Bentuk perhatian beliau yang membekas adalah saat aku menyampaikan niat untuk kerja sampingan di luar jam kuliah. Kala itu Papa meminta untuk mengurungkan keinginanku dan menyelesaikan pendidikanku lebih dulu. Beliau khawatir konsentrasiku terpecah. Aku bersikeras, dan akhirnya Papa mengalah, tetapi dengan syarat, nilai akademis tidak boleh menurun.
Perhatian berikutnya, adalah saat aku tertimpa musibah. Tas dan seluruh isinya di ambil oleh seorang pencuri. Papa amat geram. Terlihat dari wajahnya yang mengeras. Merah padam.
Menginjak usia dua puluhan, aku mulai melupakan kenangan getir anak perempuan berumur belasan. Setelah menyelesaikan pendidikan S-1, aku bertemu banyak orang dengan beragam karakter. Aku lebih banyak belajar dan menyikapi setiap kejadian dengan lebih baik. Papa pun berangsur melunak, menjadi sosok Ayah yang sesungguhnya. Tidak lagi membedakan. Mulai memberondong dengan pertanyaan siapa yang sedang dekat denganku, apa pekerjaannya, latar belakangnya, dan lain-lain. Itulah bentuk perhatian kepada anak-anak perempuannya.
Sebagai saudara tertua, Papa sudah beberapa kali menjadi wali mempelai pria pada acara lamaran atau pertunangan kemenakannya. Tapi saat acaranya lamaran putrinya sendiri, Papa tergugu. Beruntung beliau juga didampingi oleh tokoh masyarakat dan tokoh agama di sekitar rumah, selamatlah acara tersebut.
Kejadian lain yang rasanya tak bisa dilupakan adalah ketika ijab-qobul dalam pernikahanku. Calon suamiku sudah menghapalkan kalimat itu berhari-hari sebelumnya. Di mana banyak mempelai pria yang harus mengulang rangkaian kata sakral tersebut. Apa mau dikata, ternyata Papa yang harus mengulang kalimat penyerahan itu. Beliau mengulangnya sampai tiga kesempatan. Baru kali ketiga, setelah beristigfar, Papa bisa lancar mengucapkannya.
Papa termasuk sosok yang kaku dan kuno di era modern. Usai tragedi pengulangan kalimat penyerahan itu, Papa sering menyisipkan nasihat-nasihat pernikahan, entah hidup berumah tangga serta hak dan kewajiban seorang isteri. Meskipun bicaranya ceplas-ceplos, tetapi beliau seorang muslim yang taat. Tetangga pun segan terhadap beliau. Rasanya baru kemarin, Papa menyiram air ke wajahku saat aku tak menggubris panggilan Azan Subuh.
Ingatan lain yang melintas adalah perlakuan Papa terhadap Mama. Sampai detik ini, tak pernah satu kali pun melihat mereka bertengkar. Itulah kekagumanku padanya. Suara bernada tinggi terhadap pasangan, tidak mengisi rumah tangga mereka.
Papa, ampuni putrimu ini yang begitu terlambat mengerti arti sikapmu, memahami bentuk perhatianmu. Pa, tanganmu mungkin tak lagi memegangku ketika menyebrang jalan, tetapi nasihatmu selalu menjadi peganganku. Maafkan anakmu ini yang belum bisa membahagiakan dan membanggakan di hari tuamu.
Hanya doa setulus hati langsung memanah langit, yang berukirkan namamu, dalam setiap sujudku. Semoga Allah selalu menjaga dan memberikan kebahagiaan hakiki kepadamu. Aamiin.
***
Cerita ini awalnya aku tulis untuk antologi Ayah (memoar) bersama teman-teman di KamAksara. Tetapi naskahku tidak terpilih (hiks...hiks...hiks)
Sedih? Pasti!
Kecewa? Ya!
Tapi ngga menyurutkanku untuk terus menulis. Nah, daripada naskah ini hilang begitu saja, lebih baik aku publish di sini.
Selain tetap bisa dibaca orang lain, juga sebagai penyemangatku untuk lebih baik lagi.
No comments:
Post a Comment